Rabu, 02 April 2014

Surat Klasik untuk Sahabat

Hi sahabat, tolong dibaca pelan-pelan ya :) 
----------------------------------------------------

Bodoh jika gue bilang gue ga nangis nonton episode terakhir "How I Met Your Mother". 
Setelah selesai, ada pertanyaan yang muncul di benak gue, though. Kenapa gue nangis, saat menonton episode legendary itu? Apa karena gue udah melibatkan emosi gue juga selama 9 episode itu? Ga juga, toh terkadang banyak yang gue miss. 
Lalu pikiran ini melayang ke orang-orang yang gue selalu anggap teman terbaik se-alam semesta, apapun sikon kita sekarang. 
Kepada kalian2 yang mendapat link surat ini, halo. 
Pertanyaan "apa kabar?" itu ironis, jika kita tanyakan kepada org terdekat, kan? Tapi entah mengapa, saat ada temen/keluarga yang menanyakan kalian (dan selalu gue jawab "baik"), pertanyaan itu juga gue tanyakan pada diri gue sendiri. 
Apa kabar ya mereka? 
Ada satu adegan di episode terakhir HIMYM dimana Robin berkata pada Lily, bahwa dia ga bisa munafik dan ikut "gank" mereka lagi. Dengan tegas Robin berkata pada Lily, "The gank is over for me."
Sebuah pertanyaan klasik, yang takut gue jawab. Is it over for us? 
Selalu gue berkata, bahwa gue memang, tak mudah melepaskan dan melupakan orang.. Apa ini yang membuat gue berat? 
Hidup ini luar biasa ya, sahabat. 
Kita terlalu disibukkan dalam keseharian yang begitu luar biasa, sehingga kita jarang punya waktu untuk berbincang dg org2 terdekat. 
Hidup ini klasik sekali ya, sahabat.
Saat suasana ramai kita tak berpikir, namun saat sendiri, satu demi satu, kekhawatiran kita muncul. 
Tahun 2010 lalu, beberapa dari sahabat dan gue telah membuat janji. Bahwa apapun yang terjadi, we'll always be there for each other. Kondisi sekarang pun sangat berbeda ya, sahabat. Bahkan utk sekedar skype-pun, butuh schedulenya. Maaf.
Sahabat, dalam hal hubungan, gue orang yg sangat plin-plan. Gue ga bisa mudah berkata "It's over for us.", dan berpegang teguh pada komitmen itu. 
Gue ga bisa melangkah jauh, meninggalkan Sahabat. 
Karena perasaan gue ke Sahabat ini bukan hanya sebatas peduli, tapi sayang. 
Gue sangat menyayangi kalian.
Dan (knowing me), gue tidak pernah bisa meninggalkan orang yang gue syg. 
Sahabat, apakah pada saat kamu membaca surat ini kamu bacanya sekilas? Dengan penuh amarah? Dengan ironis? Atau pelan-pelan? 
Sahabat, kabar gue baik. Walau ada banyak perkara yang gue hadapi sekarang, gue bertahan. Bukankah itu yg selalu kalian ajarkan? :)
Maaf ya, karena gue juga ikut terlena dalam kesibukkan yang tiada tara. 
Maaf juga, karena kita melewatkan momen2 penting. 
Tolong diingat, gue sangat menghargai lo. 
Bagaimana dgnmu, sahabat?
Apa kabarmu? 
Doakan gue ya, doain supaya gue cepet sembuh. 
Sama seperti gue selalu mendoakkan kalian, dan mendoakan persahabatan kita juga. 
Jangan menjauh dong, Sahabat :') 
Bukankah indah jika kita menghabiskan masa muda-tua bersama? Bukankah itu yang kita inginkan? :') 

Selamat malam. 
Indah jika dalam waktu beberapa waktu dekat ini, kita dapat memperbaiki miss ini.

Tuhan Yesus bersertamu, Sahabatku.

Yours,
Regina Martha Uli 


Kamis, 22 Agustus 2013

(NOT) A LOVE STORY

Part 1: Jessica

                Kangen. Kangen sama kita. Kangen sama obrolan tengah malam kita. Kangen sama hari-hari kita. Kangen sama becandaan kita. Kangen sama rempongnya permainan kita. Lo tau, lo pasti inget kan permainan kita? Dimana kita jadi “wingman/wingwoman” satu dengan yang lainnya dengan berbagai trik, seperti trik dimana lo nyenggol gue saat pengen gue ‘tabrakan’ sama cowok seperti di FTV, begitupun sebaliknya. Atau trik dimana lo dan gue dulu-duluan jalan sama ‘target’ godaan kita, hanya untuk mencari  5 detik perhatiannya. Trik yang bodoh dan konyol, yang sebenernya kalo dipikir-pikir,  gak akan pernah dipakai sama player professional, hanya dipakai oleh ‘pemain’ amatir, seperti kita.

                Gue juga kangen sama gengsi-gengsiannya kita, seolah-olah kita gak peduli satu dengan yang lainnya tapi sebenarnya peduli. Seolah-olah saling gak ngebutuhin tapi sebenarnya butuh. Seolah-olah independen namun sebenarnya mitra. Seolah-olah menyepelekan namun sebenarnya saling mendahulukan kepentingan satu dengan yang lainnya. Seolah-olah menghina dan merendahkan, namun sebenarnya mendukung dan saling menjaga. Kita membawa gengsi itu kemanapun kita pergi sebagai perangkat, kalau-kalau ternyata hari itu adalah hari yang bahagia, dimana kita terlalu banyak bercanda dan tertawa, untuk menjaga diri kita sendiri agar tidak jatuh ke dalam lubang yang kita berdua tak inginkan. Karena gue udah dimiliki dan lo takut jatuh hati.

                Rasanya baru kemarin gue kenalan sama lo, walau sebenarnya harusnya hari ini genap 3 tahun kita bersahabat. Ya, gue inget. Karena di hari ini juga, kampus kita tercinta mengadakan seminar orientasi mahasiswa baru tahunannya, yang seperti kita selalu bilang, always right on schedule.  Gue masih inget pertama kalinya gue ngeliat lo, cowok sok cakep, yang mendobrak pintu auditorium kampus ditengah pidato rektor. Dengan semua mata tertuju pada lo, lo berjalan santai dan tanpa beban untuk mencari bangku kosong terdekat, yang kebetulan ada disebelah gue. Pidato rektor yang begitu inspiratif menjadi setengah rusak dengan hadir  lo.

Masih gue inget percakapan awal kita:

“Eh, lo dapet snack darimana? Bagi dong, gue belum makan dari pagi nih, tadi siang telat bangun!”

“Yeee, emang urusan gue! Dari panitia, lo minta aja sana kalo berani. Udah telat, megelin lagi.”

“Apaan lagi tuh megelin? Cantik-cantik judes, dah gitu pelit lagi. Lo bukan tipe gue. ”

“Apaan sih. Sok hot shot banget sih lo.”

“Udah, bagi sini ya satu. Kan tadi udah gue puji cantik.”

“Yeee emang gue minta lo puji.”

“Btw, nama gue Muel.”

“Gak nanya.”

                Dengan sikap lo yang begitu berantakan dan menyebalkan sepanjang seminar itu berlangsung, bisa dibayangkan betapa bahagianya gue saat seminar itu selesai. Berjalan dan menunggu bis di depan kampus terasa bebas dan menyenangkan, karena ga ada cowok yang memperolok dan mengomentari setiap perkataan dan gaya pembicara. Tapi sepertinya, kemujuran gue habis saat gue naik ke dalam bis tersebut, karena gak lama setelah gue duduk, lo naik ke dalam bis yang sama, dan tebaklah duduk dimana! Ya, di sebelah gue!

“Eh, lo lagi!”

“Iya, dan lo lagi.”

“Mba, jangan galak kenapa sih? Cantik lo ilang kalo lo judes!”

“Apaan sih lo.”

“Lagi bad day lo ya?”

“Iya. Abis ketemu lo sih.”

“Haha. Lucu lo. Eh btw, lo kelas berapa?”

“Lo?”

“Gue kelas…. Bentar, gue check….Aha! Kelas 104! Lo kelas berapa?”

JEDUK! Gue menghantam diri gue ke kaca bis yang kotor dengan keras. Please let this be a bad dream, pikir gue.

“Eh, eh, lo kenapa?”

“ Gapapa. Gue juga kelas 104.”

“Wah samaan dong kita!! Rumah lo dimana?”

“Ciputat!”

“Wah samaan lagi! Bisa pulang bareng kita!”

JEDUK! Gue menghantam diri gue ke kaca bis sekali lagi. This is a nightmare!

                Gue juga inget hari pertama kuliah, esok harinya. Gue mengingat masuk ke dalam kelas 15 menit lebih awal, dan mencari lo, tapi lo belum datang. Gue mengingat berkenalan dengan teman-teman sekelas dan tertawa sopan, karena gue gak fokus mendengar perkenalan mereka. Gue mencari lo. Lo datang 30 menit setelah mata kuliah berlangsung, menghentikan penjelasan dosen mengenai algoritma, dengan lagi-lagi mendobrak pintu kelas dengan tidak sopan. Lo gak duduk di sebelah gue kali ini, lo duduk jauh, di belakang, mengasingkan diri, menjauhi orang. Dengan sikap lo yang dingin dan tertutup, lo sukses membuat gue penasaran sama lo. Heck, lo membuat semua cewek di kelas penasaran sama lo! Dasar playboy!

Lo pasti inget kejadian saat jam kosong di hari itu. Kejadian super norak di kelas yang menjadi ice-breaker pertemanan kelas. Saat itu, ‘kepala suku’ , Ridwan, mengumumkan bahwa dia dan beberapa teman-teman lain ingin ke warkop untuk berbagi kopi dan rokok.

“Siapa lagi yang mau ikutan?”, Ridwan bertanya.

“Eh, gue boleh ikutan ga? Mau minum kopi nih, gue belum ngopi dari pagi.” , gue menyahut.

“Bolehlah, Jess! Kan tadi gue ngajak. Gak ada yang lain nih? Ayo yuk ke bawah!” , Ridwan berkata.

“Eh! Eh! Gue ikut juga!” , tiba-tiba lo berkata sambil berdiri.

“Eh cieeee, Muel ikut! Tadi sebelum Jessica ikut, lo ga mau ikut! Kenapa Muel? Cieee”, the class clown, Adit, memanasi situasi.

“Apaan sih lo, gue belum ngerokok dari pagi tau!”, lo membela diri.

Untuk pertama kalinya, gue menerima pelototan cewek-cewek, karena lo.

Lo juga pasti inget dong percakapan kecil kita di warkop, yang mengundang banyak rumor tentang kita juga. Ketika kopi udah dateng dan lo menengok kearah gue dan berkata, “Jadi pulang bareng?”

Seolah-olah kita sudah kenal lama.

“Lho? Emang janjian?”, gue tanya balik, sok kasual.

“Ya kan kemarin di jalan gue bilang kita bisa pulang bareng…”, lo jawab.

“Jessica! Muel! Kalian udah kenal lama ya?”, Ridwan bertanya, memancing jawaban.

“Gak, baru kemarin.”, lo menjawab tegas, menutup kesempatan untuk bertanya lebih lanjut.

 Setelah pindah tempat duduk, jauh dari lo, dan bercanda dengan cowok-cowok “normal” , gue kembali ke kelas dengan suatu perubahan, satu persahabatan baru dengan 8 cowok, namun bukan dengan lo.

“Nanti pulang bareng. Jangan naik bis. Gue udah bawa mobil kok.”, bisik lo ke gue tepat sebelum kita memasuki ruangan kelas.

Langkah gue terhenti karena kaget. Tapi lo terus berjalan, seolah tidak melakukan hal apa-apa, dan kembali ke kursi lo di belakang, menyendiri sekali lagi. Gue duduk di tempat gue semula, bersama cewek-cewek yang tidak seramah pagi. Hari itu berlanjut sunyi. Seolah-olah normal. Lo inget kan masa  itu?

               Setelah dosen terakhir pada hari pertama itu keluar, lo langsung berdiri dan berjalan keluar kelas tanpa pamit ke teman-teman yang lainnya. Sempat ada rasa sebel yang menghampiri gue, karena lo sama sekali gak memberikan isyarat maupun tanda-tanda mengajak pulang bareng. Tapi rasa itu hilang sejenak, lalu bertambah, dengan lo yang tiba-tiba menengok ke dalem kelas dan berkata lantang, “Eh Jes. Buruan! Lama banget masukin binder ke tas doang!”

Gue mendapat pelototan masssal kedua di hari itu.

                Masihkah lo ingat percakapan kita di mobil hari itu? Hari itu macet sekali karena ada demo buruh, tapi lo sama sekali gak menunjukkan muka capek maupun bosan. Gue terpukau oleh music playlist lo di mobil itu, yang sangat sama dengan playlist gue, dengan banyak lagu yang gue hafal luar kepala. Kita gak banyak berbicara, hingga pada lampu merah yang ke 2, tepat 45 menit setelah kita keluar dari kampus.

“Jadi, nama lo ternyata Jessica.”, lo berusaha memulai percakapan.

“Iya, emang lo kira siapa?”, gue tanya balik.

“Nama cakep, orang cantik, kenapa bisa judes gitu ya..”

“Dih! Mau lo apa sih?”

“Santai mba, gue cuman penasaran. Biasanya, orang judes tuh ada alasannya. Gue kira nama lo jelek, makanya lo judes.”

“Apaan sih lo.”

“Eh beneran! Gue kira nama lo Iyem, Ipeh, Suharti, apa Inem.. Sebenernya gue udah tebak nama lo depannya ‘J’, tapi bukan ‘Jessica’ tebakan gue..”

“Jadi apa? Apa tebakan lo?”

“Junti! Sebelas dua belas sama kembaran lo, si Kunti! HAHAHAAHAAHA!!”

“Ah sialan lo!”, gue menjawab setengah tersenyum.

Lo berhasil membuat gue tersenyum hari itu.

“Eh Muel, sorry. Boleh lewat Fatmawati aja gak ya? Biar gue turun di Cilandak aja. Gue ke pejaten 
soalnya.”

“Lho, maksudnya?”

“Hari ini hari Rabu, jatahnya bokap gue.”

“Ehm, oh. Oke. Gue anter aja sampe rumahnya. Gak gentleman banget gue nurunin cewek tengah jalan.”

Gue terdiam, memberikan lo kesempatan untuk bertanya dan wonder alone.  Memberikan jeda untuk lo bertanya kenapa ada jatah untuk bokap gue, dan kenapa orang tua gue berpisah. Memberikan lo kesempatan untuk berpikir sendiri dan berasumsi. You didn’t bother to take that chance, though..

“Jes, lo pernah denger lagu Bon Jovi gak?”

“Aih, gue gak suka rock.”

“Bon Jovi gak terlalu rock lagi, dia juga banyak mellow dan slow rocknya! Nih nih ada lagi yang gue suka 
banget! Lo pasti suka deh!”

“Mana? Mana?”

                Just like that, kita menutup topik pembicaraan dan memulainya kembali. Semudah itu kita berpindah dari hampir membicarakan keadaan rumah gue, ke music genre.
Perjalanan sampai di rumah bokap gue membutuhkan 6 jam 45 menit, tapi gue tau bahwa perjalanan yang macet dan melelahkan itu gak terasa buat kita. Di dalam mobil di hari itu kita tertawa, bertukar lagu untuk didengar, dan bernyanyi bersama. Tanpa disadari, hanya butuh 6 jam 45 menit buat kita untuk memulai suatu persahabatan.

                Keesokan paginya, gue telat sampai kampus karena macet. Lucky me, gue hanya telat 15 menit, dan dosen pertama belum masuk. Namun, semua kursi bagian depan di kelas sudah terisi, jadi mau ga mau gue harus duduk di belakang, ya. Tepat di sebelah lo! Inget kan lo masa itu? Saat gue duduk di sebelah lo dan lo tersenyum hampir sinis dan meledek.

“Ngapain lo duduk sini? Mau banget sebelahan sama gue.”

“Apaan sih lo, liat gak kursi depan keisi semua? Sisa cuman di barisan sini doang tau!”

“Barisan kan, masih ada 4 kursi yang bisa lo pilih. Tapi kenapa lo duduk di sebelah gue?”

“Apaan sih lo! Oke gue pindah!”, gue berkata sambil berdiri.

Tapi inget kan lo apa yang lo lakukan? Lo menahan tas gue.

“Yaelah jeng, gue bercanda… Jangan marah kenapa sih. Sensian banget.”

“Udah deh ah. Capek. Gue mau duduk di pojok sebelah sana aja!”

“Ih, ga usah gitu kenapa sih.”, lo berkata sambil menarik tas gue dan membuat gue duduk di bangku sebelah 
lo lagi. Lo ga menyadari bahwa semua mata di kelas sedang menatap percakapan dramatis kita. “Gue 
beneran cuman bercanda. Maaf kalo gue bikin lo tersinggung ya.”

Gue duduk untuk menghindari drama ini lebih lanjut.

“Senyum dong, Jes. Cepet tua lo kalo bĂȘte mulu.”

“Apaan sih lo.”

“Senyum! Biar cantik lagi kaya tadi pas masuk.”

Gue memberanikan diri melihat ke depan, tidak lagi menunduk malu.

Taukah lo bahwa gue menerima pelototan missal ketiga pagi hari itu?

                Sepanjang kelas di hari itu, gue mendapat banyak bantuan dari lo. Dengan kemampuan lo menyerap semua ajaran dosen dengan cepat, gue seolah mendapat guru privat di kelas yang kondusif itu. Saat gue gak mengerti apa yang dosen jelaskan, lo jelaskan ulang. Yang lebih mengejutkan lagi, lo bisa membuat hal yang seribet kalkulus/bahasa sintaks terdengar dan terlihat mudah di mata gue. Dengan bantuan lo, gue mendapatkan lebih banyak ilmu dari yang seharusnya gue dapatkan.

“Nanti pulang bareng lagi gak?”, lo bertanya ditengah-tengah mata kuliah Matematika Dasar.

“Hm, gue di jemput hari ini.”, gue menjawab.

“Dijemput siapa? Bokap? Nyokap? Abang?”

“Gue.. Gue dijemput cowok gue.”

“Oh, cowok lo. Dia jemput kesini? Naik apa?”

“Iya. Naik motor. Kenapa emg?”

“Kenalin dong!”

“Buat apa?”

“Ya kan kita teman. Boleh kali kenalin pacar ke temen.”

“Oh. Okay.”

“Okay.”

                Sadarkah lo bahwa lo berbeda setelah percakapan waktu itu? Lo menjadi sedikit lebih tertutup, lebih guarded, lebih dingin. It was a different kind of vibe for us, dan gue gak suka. It was awkwardness surrounding us, tapi kita berdua tetap mencoba untuk menjadikan semuanya normal. Hingga tiba saat pulang, lo gak terburu-buru dan berjalan keluar seperti yang lainnya. Lo menunggu gue, dan saat gue selesai membereskan semua peralatan gue, lo mengikuti gue keluar untuk bertemu pacar gue.

Gue masih mengingat ketawa tertahan lo saat melihat Gorby.

“Jadi ini cowoknya Jessica?”, lo berkata sambil berjabat tangan dengan Gorby.

“Iya, lo temen barunya?”, Gorby bertanya, typically suspicious.

“Iya, gue temen barunya!”, lo berkata, entah ramah atau meledek. “Kalian naik motor, ehm muat?”

Gue melotot ke lo yang berusaha untuk gak ketawa lepas.

“Maksudnya?”, Gorby bertanya lagi.

“Gak, gak jadi. Eh, gue duluan ya Jes. Eh iya BTW sini nomor hape lo. Gue belum nyatet tugas yang tadi.”, 
lo menjawab.

Setelah bertukar nomor hape dengan lo, kita berpisah. Gue masih inget alis mata lo yang naik saat Gorby ingin menggandeng tangan gue, dan gue menolak. Ya, gue juga masih inget senyum lo yang mengundang curiga itu. Setelah mobil lo udah ga terlihat, karena Gorby memutuskan untuk lewat jalan tikus, gue merasa lega tapi juga takut, karena gak ada lo yang bisa ngeliatin gue. Setelah gue sampai di rumah, gue menerima SMS dari lo. Lo inget gak SMS pertama lo ke gue?

That was amusing. Got home?
                                                From : Muel

WHAT was amusing? Udah. Mau minta tugas?
                                                Sent to: Muel

Your 500kg bf. What’s the deal?
                                                From: Muel

What deal? He’s not 500kg. 115 maybe.
                                                Sent to: Muel

Hahaha! Sama aja! Come on, the deal.
You blind or what?
                                                From: Muel

Shut up. Lo mau tugasnya apa gak?
                                                Sent to: Muel

Gak. Gue ud nyatet. Blg sm bf lo, mulai skrg
lo pulang bareng gue.
                                                From: Muel

Wait, what?
                                                Sent to: Muel

Blg aja. BTW, bsk gue mau tau dealnya.
                                                From: Muel
Taukah lo bahwa semalam itu gue ga bisa tidur? Terpikir kenapa lo yang baru 2 hari kenal gue tau bahwa gue emang ga tulus sama cowok gue. Bertanya-tanya apakah memang semua orang sadar bahwa gue ke cowok gue hanyalah fake dan hanya sebagai status aja? Berpikir dan berasumsi bahwa, hey, you just had a lucky guess. Semacam lucky guess that nailed. But lucky guess or not, you creeped me out, dude.
Inget ga lo keesokan harinya di kampus? Saat gue masuk ke kelas dan tertegun melihat lo yang udah duduk manis di belakang, sambil bermain HP. Saat Anisa menyapa gue, seperti biasa, lo menengok dan tersenyum lebar.
“Jess! Jess! Sini!”, lo memanggil setengah teriak, sambil menunjuk bangku di sebelah lo.
Taukah lo bahwa lagi-lagi gue menerima pelototan massal karena lo?
Lo inget kan kalimat pertama yang lo ucapin setelah gue duduk di sebelah lo?
“Jangan geer ya. Ada 2 alasan kenapa gue ajak lo duduk disini. Yang pertama, biar gue ada temen. Kedua, biar lo bisa cerita tentang the so-called cowok lo.”
With that, lo tersenyum. Senyum murni pertama yang gue lihat.
“Apa yang lo mau tau tentang cowok gue?”
Seriously, so many damn questions!”, lo menjawab excited.
“Seperti…..?”
Are you blind?
What the hell????”
Our hectic conversations, or should I say, arguments began again…

Selasa, 14 Mei 2013

"Indonesian Future Leaders" Through My Eyes

"Indonesia mengecewakan."
Well. Itu adalah sebuah kalimat yang sering banget gue utarkan saat SMP. 
Gue memang sarkastik dan hopeless dalam melihat masa depan bangsa yang 'entah dibawa kemana' oleh para pejabat yang hanya peduli pada perut mereka masing-masing.
Masa SMP gue lewati dengan ga peduli pada politik ataupun orang lain. Tapi segalanya berubah ketika gue duduk di bangku SMA, saat gue menjadi bagian dari tim debat sekolahan.

I became aware. 
Yap! Aware pada segala aspek, mulai dari politik, hukum, sosial, dan ekonomi. Gue lebih aware terhadap apa yang terjadi dan bagaimana mencari solusi dalam melihat suatu perkara. Gue jadi  update mengenai segala sesuatu yang sedang terjadi dan benar-benar memberikan (paling tidak) suara dan kepedulian tentang hal tersebut.

College was the place where I wanted to reinvent myself.
Setelah melewati masa SMA di team debate membuat gue berlatih kepedean dan keterampilan dalam mengutarkan pendapat dan berpikir, gue memutuskan untuk membawa semangat dan ambisi gue ke level berikutnya. I didn't want to talk about change, I wanted to be a part of a change. 
Dengan bermodalkan stalking following feed twitter temen SMP gue, Monica Agnes (yes, thank you Monica!), gue ketemu sama twitter @parlemen_muda , yang lagi mencari kandidat Parlemen Muda untuk sebagian besar provinsi negara. Singkat cerita, setelah gue mendaftatr, terpilih menjadi kandidat, dan kalah pada pemuda hebat Banten, Panji Aziz (yang later on became a friend), I was back to square one.
Seperti takdir, saat melihat timeline twitter @parlemen_muda , gue melihat satu tweet yang mempromosikan Open Recruitment IFL di divisi Communication and Partnership. Singkat cerita, setelah mendaftar, di wawancara oleh Ci Jess dan Melati, seperti seolah hadiah natal dari Tuhan, gue mendapat spot disana!

Kerjaannya ga seperti yang gue kira.
Well, at least gue tadinya mengira bahwa kerjaan di divisi ComPar (yang meliputi bagian socmed dan partnership) akan jauh lebih ringan dibanding kerjaan di divisi lain. Ternyata, gue salah besar! Kerjaan di divisi ComPar IFL jauh lebih challenging dibandingkan dengan apa yang gue kira. Dan hebatnya lagi, gue berkembang JAUH melewati ekspektasi gue disini.

Gue belajar banyak dari IFL.
Walau jarang ngumpul sama anak-anak IFL karena gue penyakitan (badannya belum stabil), gue belajar banyak dari mereka. Gue belajar bahwa menjadi baik belum tentu cukup baik di luar sana. Gue belajar bahwa ga ada limit dalam melakukan suatu aksi. You can't say you gave enough to your country, because it's never enough. Gue jg belajar bahwa lebih berarti menjadi problem solver than be a pressure group. Gue belajar untuk berbagi dan menginspirasi dan beraksi.

Divisi ComPar changed me.
Menjadi salah satu bagian dari divisi ComPar mengubah hidup gue jadi lebih bermakna (cie elah, tp iya lho! :p)
Dengan adanya supervisor seperti Ci Jess yang disiplin banget, gue bener2 jadi menghargai waktu dan mengerti makna yang terdalam dari kata "deadline" #kode haha! Tapi ngga, seriously, berada di tengah-tengah temen2 IFL, gue menjadi lebih produktif dari gue yang sebelumnya.
Selain itu, gue jg jadi belajar untuk bisa lebih menghandle partnership (yang gue kira gampang malah ternyata challenging bgt lho!), menulis artikel dengan benar, dan gue mengerti cara menghandle socmed IFL jg (ternyata ini challenging bgt lho!). Ternyata progress socmed itu bener2 harus teliti!

Gue jadi inget pertama kali gue menjadi admin twitter IFL, rasanya mau ngetweet di platform/akun yang beribu followersnya tuh deg-degan bgt! Tapi deg-degan itu perlahan-lahan ilang seiring dengan waktu. Gue inget betapa senengnya gue pas berhasil membawa tema di twitter IFL dan mendapat banyak followers. Gue inget pas gue dapet pujian dari tmn2 followers dan jg "jempol" dari Ci dan Jes tmn2 IFL lainnya (haha asli seneng bgt). Tapi jg sering socmed IFL ditanyakan keberadaannya (krn sempet jarang ngetweet). Gue jg belajar untuk lebih konsisten dalam menerima tanggung jawab dan menerima kritikan.

Banyak yang gue dapat di Indonesian Future Leaders!
Soft skills yang ga bisa didapetin di bangku kuliah bisa gue dapet lewat IFL.
Lewat IFL juga gue mendapat kesempatan untuk bekerja sama dengan Asia Pacific Youth Network sebagai  Duta Muda HAM dan ke Hong Kong untuk bertemu temen-temen dari berbagai negara demi membela hak asasi manusia! :')

Indonesian Future Leaders was one of the best decisions I've ever made.
Seandainya pada malam itu saat liat tweet @parlemen_muda tentang OPREC Divisi ComPar IFL gue ga ikut, gue pasti ga akan menjadi diri gue yang sekarang.
IFL telah membuat gue berhasil reinvent diri gue sendiri, menjadi orang yang lebih baik lagi, membuat gue menjadi orang yang lebih berarti lagi, dan menjadi orang yang bisa memimpin dengan lebih baik lg!
I don't have any regrets joining this organization.

Being in IFL for the past 2 years changed me into becoming a better person! I really do feel grateful and lucky to have been in this organization!
And it can change you, too. It can change you into being a better person:')

Ternyata selama ini, memang benar apa yang orang selalu katakan bahwa teman kita menentukan kita siapa:)
Kalau kita bergaul dengan orang-orang yang produktif, maka pasti kita akan produktif!
Kalau kita bergaul sama orang yang salah, akan ada kemungkinan bahwa kita akan salah jg.

Yang pasti, gue bersyukur pernah jadi bagian dari SUPERB Indonesian Future Leaders. Orang-orang yang produktif dan benar-benar luar biasa yang gue temukan di Indonesian Future Leaders memicu gue untuk lebih produktif dan berkembang lg!

How do you thank something that gave you so much? :')

Bergerak di IFL, dengan teman-teman, dan juga Divisi ComPar yang sudah benar-benar gue anggep keluarga sendiri, adalah suatu perjalanan yang tidak akan pernah gue lupakan. IFL mengajarkan gue terlalu banyak hal, yang tak mungkin bisa gue sebut satu per satu disini. Sadar apa tidak, secara langsung maupun tidak, IFL membuat gue berbeda.
IFL changed me, it really did.
And it can change you too, if you give it a shot.

Leaving was a hard decision for me to take.
I wish I could've given more to IFL, like what IFL gave to me :')

Tapi gue yakin, masih banyak adventure yang menanti gue di luar sana! Gue juga yakin, akan banyak anak bangsa produktif dan proaktif yang menanti keluarga IFL!

So thank you, IFL:)
Thank you, my superb family, ComPar Division! There are too many things I will miss:'')

Jumat, 19 April 2013

Preparing a "Goodbye" for 21

The clock is ticking as I look back at this year, 21 years old.
Nothing changed much.
I'm still the same person as I was two years ago.

At the age of 21, the only thing I could do easier is buy beer, since I'm allowed to drink any kinds of booze legally right now.
But other than that, life gets harder.  I get weaker.
I get tired.

I learned a lot during this past year.
I learned to not trust a person easily (especially after what John did to me. Oh haha I'm still talking about this shit).
I learned that I can depend on no one, and I mean NO ONE. Not for help during chores, or to get things done, nothing. I learned that life is really personal, it's just you and your responsibilities.
I learned to accept this weird relationship between me and my father.
I learned that life is fair. And you have to be ready to accept any kinds of consequences that goes along with it.
I learned that their IS such things as a heartless parent.
I learned that it's okay to have a broken heart. It's okay to not even bother to fix it.
I also learned that we need to focus on things that matters most instead of thinking of the past.
I learned that it's okay to CRY.

I also learned that life doesn't wait for me. It keeps moving.
Oh yeah, I also learned that 24 hours is NEVER ENOUGH!!!
I learned that once we got a good community that does something REALLY productive it gets contagious.
I learned that it's not just me in this world.
And I learned that friends can become family, good friends I mean.
I also learned that life is better if you have a sense of humor:p

Walking alongside year 21 of my life, I am ready to open a brand new page.
I'm still the same, though.
My dreams haven't changed.

I'm more braver to reach for my dreams, though.
I'm more certain of where I want to head.

I may be in a dark place now, but I know there's a rainbow after the rain.

As I prepare my goodbye to 21 and hello to 22, I state: I learned a lot, my character grew! I know what I want and I truly believe He has a beautiful plan for me in the future! Amin!


Selasa, 12 Maret 2013

Destroying Negativity by Positivity

When someone you know achieved something you have been dreaming about accomplishing, it's like a hard slap on your face. 
When someone you know got something, bought something, did something, that you've dreamed about having, about buying, or doing.. it's like you've been slapped freakin hard by the world. 
It's like a wake-up call.
Like suddenly the whole world is saying "Yo, Girl.. Guess who got this/bought this/achieved this? WHAT HAVE YOU DONE/ACCOMPLISHED NOW?"

You are drawn to punish yourself by listening to desperate songs, watch desperate TV shows, stay away from socmed (coz you DON'T want to hear about the success that she/he made), and if you are me, you are drawn to eat 1 litter of chocolate moose baskin robins's ice cream, all by yourself, with your weekly allowance, not caring on how you're going to get to campus tomorrow coz you got no cash. No, all you need is that ice cream, the chocolate. You eat them in front of the TV, while watching the latest season of Greek, thinking that by watching it you'll forget about is going on. 

Wait. I'm rambling. 

Anyways, when you see someone you know live your dream, it sucks.

But during those desperate episodes of Greek I realized that by seeing someone succeed at a dream that I've  been dreaming maybe just isn't a wake up call, but a motivation. 

That's when I realized that maybe, sometimes, we- well I, still like to think things in a negative way.

"Look! She/He got this!". Fuuu regina! What have YOU accomplished?
"Oh man! The lecturer is mean!" Fuuuu! It's gonna be a hard semester!
"Look who you're going to compete against!" DAMN! ARE YOU SERIOUS?! WE'RE NEVER GOING TO MAKE IT!!

Haha! Yep, for a motivator, negativity still attacks at it's best time.
Sigh. 

Good thing is- God is so good to me, I learn that this negativity can be blown away and defeated by positive thoughts.
Sometimes you have got to realize that everything is not about you.
If someone gets what you've been dreaming of, and you know it, you gotta realize that maybe, it's their dream as well.
Then you have to flashback at yourself and theirs. 
Did you try enough to achieve what you've always dreamed of? Or maybe you're just standing there like an idiot going "Yea I want that.", but not going the extra mile to reach it?
Maybe they pushed more, tried more, and fought more?
If they did, you've got to admit.. They deserved whatever they accomplished.

Being able to reach humility and realizing the fact that whatever is happening isn't all about you is the first step of overcoming negativity. 
Realizing that maybe the person who achieved something well deserved it is the next. 

Then at that moment, we have to realize that there are still many opportunities for us to still reach our dreams. It's not too late.
I mean, sure, she/he got there first but it doesn't mean you can't! 

All you gotta do is push harder . 
Work harder.
Study harder.

Simply, go the extra mile.
Remember that opportunities comes for those who EARN it. 
You have got to have the right to EARN it. 

Earning the opportunity of a lifetime is hard.
It's not easy.
But, who said success is easy?
If it was easy, all people would be successful, won't they?

As my mom told me, the greatest and inspiring people are the ones who build themselves up to the top, from zero.
Be that person.

You know, when you realize that you still have TONS of work to do, you'll realize that you have NO time to even look at other people's life. 
Like running a marathon, it's just you and the road. No one else.

Life is like that.
It's just you and it's journey. 
Sometimes it's OK to look up, to see successful people to motivate you. Look for a minute though, then go back to see your track.
Sometimes it's OK to look down, too. To help people in need of your help, just in  case. Then don't forget to look at your own life as well.

Whatever you do, no matter who got what, you still can accomplish your dreams. 
It's never impossible.


So, that's how you destroy negativity onto people's life, by thinking positive and building your own.

I learned a lot today.
I definitely learned to motivate myself, and push harder, way harder than I usually do.

The world doesn't wait up on lazy people.

And to reach success, being "good" at something sometimes just ain't good enough.


So come on, get up! Let's push ourselves! 

Focus! 

Why? BECAUSE WE CAN. 

Kamis, 13 Desember 2012

What If People Underestimate Me


Selama ini, aku menyangka bahwa underestimation atau “perendahan” merupakan suatu pacuan dari orang lain untuk kita, agar kita tak besar kepala atau puas dengan apa yang berhasil kita capai. Selama ini, aku kira bahwa underestimation merupakan cara untuk membatasi diri, cara untuk cepat tahu bahwa ada yang bisa dan tidak bisa kita lakukan. Aku salah. Aku tersadar bahwa kita dapat melakukan apapun yang kita mau lakukan. Aku tersadar bahwa underestimation bukan sebuah pacuan, melainkan judgement. I realized that underestimation can lead to self destruct.
                Bisa dibilang, aku merupakan anak yang sering di underestimate oleh orang lain. Dengan penampilan luarku yang sering dibilang “asal” sama orang, tak jarang orang ragu dan takut memberikan aku sebuah tanggung jawab. Bahkan, dengan berat hati aku katakan, orang tuaku juga mengunderestimate kemampuanku. Mereka tidak berani memberikan aku tanggung jawab yang besar, karena takut aku tidak bisa memberikan hasil yang mereka inginkan. Saat aku dipercayai oleh sekolah untuk mewakili mereka lomba, orang tuaku menanyakan kemampuanku yang menurut mereka belum pantas. Saat aku menang sebuah lomba, orang tuaku menanyakan kemampuan lawanku, apakah mungkin mereka bukan yang terbaik. Saat IPK ku mencapai angka yang cukup memuaskan, mereka bertanya-tanya, mereka-reka, apakah aku curang dalam mengerjakan ujiannya atau tidak. Aku sering di underestimate orang. Bisa dibilang, underestimation adalah makananku sehari-hari.
                Underestimation adalah suatu hal yang keji. Hal itu dapat membuat diri kita merasa rendah dan tak pantas untuk mendapatkan apa-apa. Underestimation dapat membuat diri kita tidak percaya diri dan menyangkali kemampuan diri kita sendiri. Ini dapat menjadi penghalang, bahkan dapat membuat kita berhenti mencoba. Underestimation dapat membuat kita merasa tak mampu untuk melakukan apa-apa. Underestimation dapat  “membutakan” kita,  ia dapat membuat kita merasa apapun yang kita lakukan itu sia-sia. Underestimation dapat merusak kita, secara karakter maupun fisik.
                Lalu apa yang dapat kita katakan jika seseorang, atau bahkan orang-orang meng underestimate kita? Apa yang dapat kita katakan ketika menghadapi orang yang tidak mau memercayai atau memberikan kesempatan kita untuk membuktikan? Apa yang dapat kita katakan pada orang yang berkata bahwa kita tidak bisa?  Apa yang pantas kita katakan pada mereka yang berkata bahwa kita tidak akan berhasil? Two words. 7 letters. “Watch me.”
                NO ONE CAN SAY YOU CAN’T! Kamu dapat melakukan apapun yang kamu mau, dengan niat dan tekad yang bulat, tentunya. Kamu BISA berhasil. Kamu BISA meraih mimpimu. Kamu PANTAS mendapatkan tanggung jawab yang kamu dapatkan saat ini. Kamu PANTAS berada di posisimu sekarang, tidak ada yang dapat mengatakan kamu tidak pantas. Baiknya sebuah underestimation adalah ia dapat memberikan kamu rasa “tidak puas” yang begitu dalam, sehingga kamu “berlari” ke tujuanmu, saat orang lain masih “berjalan”.
                Saat kamu di underestimate, tersenyumlah. Saat orang lain bilang kamu tidak bisa, berikan mereka sebuah pelukan. Saat orang lain tertawa mengejekmu, tertawalah bersama mereka. Don’t let them screw you! Anggaplah underestimation itu sebagai challenge-mu. Anggaplah hal itu sebagai angin lalu. Tapi jangan, jangan sekali-kali kamu berhenti melangkah maju meraih mimpimu. Ya, kamu pantas. Ya, kamu bisa. BUKTIKAN kamu BISA! 

What If I Don't Love What I Do


Saat menghadapi hidup, banyak orang yang berkata bahwa terkadang, kita harus membuat suatu keputusan/melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan kita. ”It sucks, yes. But it’s the reality we have to face..”, begitulah yang biasanya mereka katakan. Pada kenyataannya, kita dapat melakukan apa saja, kita dapat menjadi siapapun yang kita mau, dengan satu kunci: membuat keputusan yang bijak pada saat muda ini.
                Masa muda yang sering diartikan sebagai masa “gila-gilaan” sesungguhnya adalah masa yang harus kita perhatikan lebih dalam. Segala keputusan besar hidup kita ambil di masa ini. Mulai dari menentukan jurusan di masa SMA, sampai menentukan major yang kita ambil di masa kuliah. Segala keputusan “life changing” kita ambil di masa muda kita. Tapi bagaimana jika semua sudah terlanjur? Bagaimana jika kita sudah terlanjur menentukan pilihan kita? Bagaimana jika kita tertiba sadar akan kesalahan pilihan kita? Bagaimana jika kita tidak bahagia mempelajari bidang kita?
                Bagaimana jika suatu saat kita bangun dan menyadari semua kesalahan dalam mengambil keputusan kita? Bagaimana jika suatu saat kita menemukan diri kita tidak bahagia? Bagaimana jika kita menemukan diri kita enek dengan semua rutinitas kita? Bagaimana jika suatu saat kita capek dan bahkan benci dengan major yang kita sedang ambil, karena tentu kita sadar bahwa ini bukan passsion  atau mimpi kita? Apa kita akan diam saja? Apa kita akan meneruskan major itu dengan alasan “terlanjur” atau “tanggung”? Apa kita akan BENAR-BENAR akan membiarkan diri kita terpuruk?
                Aku pernah melewati proses ini. Aku pernah salah pilih dalam mengambil sebuah jurusan di kampus. Aku pernah salah pilih dalam mengambil sebuah pekerjaan. Aku pernah mencoba untuk bertahan dengan alasan “tanggung” dan “terlanjur”, sebuah alasan klasik. Mencoba bertahan melakukan sesuatu yang kita tidak suka gak segampang yang orang lain katakan. Aku berbeda dari biasanya, aku mengeluh, aku gampang dipancing amarah, aku menderita.  Butuh sekitar 1 tahun untuk aku untuk menyadari bahwa aku tidak bahagia. Akhirnya, dengan tekad bulat aku berhenti  apa yang aku pelajari/kerjakan saat itu. Dengan penuh tekad, aku mengambil langkah untuk mengejar mimpiku. Aku mengambil langkah untuk berhenti, dan mengejar passionku. Ya, 2 tahun aku “sia-siakan”, but let me tell you, it’s worth it. Hidupku sekarang bermakna,aku menjadi orang yang aku inginkan. Aku menghadapi hari dengan semangat dan aku melihat semuanya dengan positif. Tak sering aku berkeluh kesah. In short, akhirnya. Aku. Bahagia.
                Setiap orang, terutama KAMU, berhak untuk hidup bahagia. Kita berHAK untuk mengejar mimpi kita. Jangan melihat hidup sebatas apa yang kita sedang kerjakan sekarang, but see the big picture! Mungkin kita masih bisa memaksa diri untuk bertahan 1-4 tahun lg, menekuni bidang yang kita tidak suka, tapi bagaimana dengan kita 10 tahun kedepan? Apa jadinya kita jika kita terus menekuni bidang itu? Apa kita akan benar-benar menjadi orang yang akan berkata “What if I did things differently in the past?” Apa kita akan menjadi orang yang penasaran dan sering bertanya-tanya?
                Hidup hanya sekali. Masa muda yang kita rasakan hanyalah sekali. Betapa sia-sia jika kita tidak menjadikan hidup kita bermakna. Bagaimana caranya agar hidup kita bermakna? Tentu, dengan jujur pada diri sendiri. Tentu, dengan menghadiahkan diri kita suatu kesempatan untuk mengejar cita-cita kita yang sesungguhnya. Kita akan menjadi orang yang berguna saat kita dapat berkarya melakukan sesuatu yang benar-benar kita sukai.  It’s never too late or too risky to start doing what we love to do! Take the risk, feel the difference, go after what you want to do! You deserve it! It’s worth it! –RMU